Pesawat berkelir biru dan putih ini dibeli dari produsen pesawat asal Amerika Serikat (AS) senilai US$ 91,2 juta atau sekitar Rp 1,036 triliun (Rp 11.363 per dolar AS).
Lantas, apakah benar pesawat kepresidenan ini sedemikian penting diperlukan Indonesia?
Pengamat Penerbangan, Alvin Lie menilai sebenarnya Indonesia masih belum memerlukan pesawat kepresidenan. Indonesia disebut justru lebih efisien bila menyewa pesawat seperti yang berlangsung selama ini.
Hal ini, menurut Alvin, mengacu pada beberapa hal. Pertama, dengan tingkat efisiensi berbanding pemakaian pesawat tersebut terhadap kegiatan Presiden.
"Dari
sisi keekonomian baru mencapai titik 200 jam sebulan. Sementara pemakaian
kita di bawah itu, Jadi tidak ekonomis, lebih baik sewa," jelas dia.
Selain itu, dengan pemakaian yang minim maka pemerintah juga harus mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit untuk operasional maupun perawatan pesawat ini.
Seperti biaya awak kabin, parkir pesawat dan perawatan lainnya.
Pada pesawat kepresiden ini setidaknya harus memiliki 5 set awak (1 set terdiri dari 1 pilot dan co-pilot). Adapula awak kabin lain seperti pramugari dan teknisi.
"Pesawat
kepresidenan ini juga terlalu besar untuk keperluan presiden sehari-hari,
terlalu mewah," lanjut dia.
Kondisi berbeda bila Indonesia hanya menyewa pesawat. Pemerintah cukup merogoh
kocek pada saat penyewaan, sehingga tak perlu pusing mengeluarkan biaya
operasional, perawatan dan lainnya.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengklaim pembelian pesawat jenis Boeing Business Jet (BBJ)-2 itu negara bisa menghemat biaya operasional presiden serta lebih efektif dalam hal kegiatan negara yang dilakukan presiden.
"Dari
sisi anggaran jauh lebih hemat, dari perhitungan selama pakai pesawat ini di
tahun yang akan datang akan menghemat 114 miliar setiap tahun," tambah
dia. Sumber : Liputan6.com (Bki)