JAKARTA, Beritaklik.Com - Melemahnya rupiah turut berimbas pada
kenaikan risiko investasi di Indonesia. Analis memproyeksikan, iklim investasi
dalam negeri masih rawan akibat ancaman kenaikan suku bunga acuan oleh Bank
Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed yang berpotensi menggerus mata uang
Garuda.
Meningkatnya risiko investasi domestik tergambar pada angka credit default swap (CDS) 10 tahun
Indonesia per Jumat (7/8/2015) yang mencapai 261,83, level tertinggi sejak
Maret 2014. Angka tersebut naik 0,6 persen ketimbang hari sebelumnya sebesar 260,26.
Secara year to date (ytd), level tersebut
sudah melambung 13,63 persen.
Posisi CDS 10 tahun Indonesia lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga
seperti Malaysia yang bertengger di 209,78 dan Thailand yang mencapai 167,83.
Risiko berinvestasi Indonesia hanya lebih baik ketimbang Vietnam yang berkisar
281,6.
Begitu pula dengan CDS 5 tahun Indonesia pada Jumat (7/8/2015) yang tercatat
188,436, naik 0,96 persen ketimbang hari sebelumnya. Angka tersebut sudah
terangkat 17,54 persen secara ytd. CDS 5 tahun sempat mencapai titik
tertingginya sejak April 2014 pada Selasa (4/8) di level 189,048. Semakin
tinggi angka CDS, semakin riskan pula investasi di kawasan tersebut.
Sebaliknya, semakin rendah angka CDS, risiko berinvestasi di area tersebut kian
minim.
Haed of Debt Research Danareksa Sekuritas, Yudistira Slamet menilai, ada
beberapa faktor yang memicu kenaikan CDS Indonesia. Pertama, depresiasi mata
uang rupiah akibat penguatan dollar AS. Pada Jumat (7/8/2014), rupiah melemah
0,09 persen menjadi Rp 13.541, level terendah sejak tahun 1998.
Kinerja mata uang negeri Paman Sam memang sedang perkasa akibat spekulasi
kenaikan suku bunga acuan. Meskipun masih ada rilis data ekonomi AS yang kurang
mengilap, para pejabat The Fed optimistis dapat mengerek suku bunga acuan
sebelum akhir tahun 2015. Data perekonomian memang menjadi pendorong utama
realisasi rencana tersebut. Lihat saja data Non Farm Employment Change
AS per Juli 2015 yang tercatat 215.000 orang.
Kendati lebih rendah ketimbang posisi bulan sebelumnya di 231.000 orang, pelaku
pasar menyambut gembira data ketenagakerjaan tersebut karena melebihi 200.000
orang. Kedua, faktor perlambatan ekonomi Indonesia. Per kuartal II tahun 2015,
pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,67 persen, lebih rendah ketimbang pencapaian
periode sebelumnya di 4,71 persen. "Jadi pada keluar dari Indonesia mengingat upside yang berkurang untuk
investasi," ujarnya.
Analis obligasi BNI Securities, I Made Adi Saputra menambahkan, penurunan
cadangan devisa Bank Indonesia (BI) juga menjadi salah satu pemicu kenaikan CDS
Indonesia. Per akhir Juli 2015, cadangan devisa dalam negeri mencapai 107,6
miliar dollar AS, turun 0,37 persen atau sekitar 400 juta dollar AS dari posisi
bulan sebelumnya. Hal ini menandakan berkurangnya kemampuan BI untuk
mengintervensi pelemahan rupiah.
Apalagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih kusam akhir
pekan yang tercatat 4.770,30, turun 0,75 persen ketimbang hari sebelumnya. "Sentimen negatif baik dari domestik dan luar negeri mengangkat posisi CDS,"
tukasnya. Sumber:Kompas.Com (Bkf).