Warga Berharap RTMPE Mampu Tekan Inflasi, Jon Erizal Yakin RTMPE Mampu Tekan Inflasi

Rabu, 12 Agustus 2015

Bupati Kampar H jefry Noer,SH saat meninjau Permabunan percontohan RTMPE di Desa Aur Sati Kec Tambang selasa 11-8.

Kampar, Beritaklik.Com - Sejumlah warga di Kabupaten Kampar dan daerah lainnya di Riau mengharapkan Program Rumah Tangga Mandiri Pangan Energi (RTMPE) dapat segera terwujud hingga pelosok desa dan mampu menekan inflasi yang selama ini kian meningkat."Kami berharap Pemda Kampar mempercepat terlaksananya RTMPE hingga ke desa-desa. Itu agar kami tidak kesulitan dalam bebagai hal termasuk membeli kebutuhan pangan," kata Junaidi (44), warga Kecamatan Tambang, Kampar, Rabu (12/8).

Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Riau itu menambahkan, bahwa jika RTMPE terlaksana secara baik, maka akan mampu menyejahterakan masyarakat secara merata, bahkan mampu menekan laju inflasi. Sebelumnya Legislator Komisi XI DPR-RI, Jon Erizal menyatakan kekaguman atas berbagai program yang dijalankan Pemerintah Kabupaten Kampar khususnya Program Rumah Tangga Mandiri Pangan dan Energi (RTMPE) karena berpotensi menekan inflasi.

"Ini menjadi kebanggaan bagi kita bersama dan harus mendapat dukungan semua pihak khususnya perbankan," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI itu. Jon Erizal bersama sejumlah anggota Komisi XI DPR RI lainnya telah berkunjung ke Kampar dan melihat langsung program andalan itu. Jon Erizal mengatakan, program nyata yang dijalankan Pemda Kampar patut menjadi model atau pusat percontohan bagi daerah lainnya, baik itu di Riau maupun skala nasional.

"Selama ini banyak pihak terutama pemerintah, mengeluhkan inflasi akibat berbagai hal. Dan banyak masukan untuk mengatasinya, hanya saja sebatas retorika," katanya. Namun tidak untuk di Kampar, demikian Jon Erizal, yang telah melakukan berbagai upaya lewat program-program potensial, salah satunya adalah RTMPE. Melalui program ini, masyarakat diajarkan untuk mandiri, mengelola lahan yang tidak begitu luas, namun hasilnya luar biasa.

Jon Erizal mengatakan, karya nyata ini harus mendapat dukungan dari semua pihak, termasuk Pemerintah Pusat dan masyarakat. "Sesungguhnya para tokoh-tokoh terdahulu itu, mereka sukses membangun karena kerja nyata mereka. Terutama dalam membangun karakter, ahklak dan moral masyarakat seperti yang dilakukan Kampar saat ini," katanya. Bupati Kampar Jefry Noer mengatakan pihaknya sangat serius untuk mengembangkan Program RTMPE bahkan hingga ke masyarakat di seluruh pedesaan di Kampar.

RTMPE merupakan program pengelolaan lahan seribu meter per segi, di dalamnya masyarakat diajarkan untuk memelihara enam ekor sapi dimana kotoran dan urinenya diolah menjadi biogas, pupuk organik dan biourine berkualitas baik. Selain itu juga dapat memelihara seratus ekor ayam Alpu yang dikawinkan dengan sepuluh ekor pejantan Bangkok. Tujuannya agar telur yang dihasilkan bisa ditetaskan dan nilainya yang lebih tinggi. Di atas lahan seribu meter per segi itu, masyarakat juga bisa memelihara ikan lele, menanam sayuran, cabai dan bawang merah, bahkan rumah jamur. Hasil yang potensial bahkan mencapai Rp15 juta hingga Rp25 juta per bulan.

"Ini program yang bisa membuat masyarakat tidak hanya bebas dari kemiskinan, namun juga bisa membuat mereka menjadi kaya raya," katanya. Untuk memastikan Program RTMPE berjalan lancar, Jefry Noer kemudian melakukan upaya percepatan. Karena tahun ini dia menargetkan sudah akan terealisasi seribu hingga 2.000 RTMPE di berbagai wilayah. Para pejabat eselon di daerah itu juga diwajibkan untuk menjalankannya. Pada APBD Perubahan, juga akan ada alokasi dana untuk program tersebut.

Jefry juga melakukan pemantaua langsung, rutin. terakhir dia meninjau rencana pembangunan RTMPE di Pasir Putih dan Desa Pandau Jaya, Kecamatan Siak Hulu serta di Desa Aur Sati, Kecamatan Tambang. Dalam kunjungan tersebut Jefry Noer di dampingi Ketua TP-PKK Kampar Hj Eva Yuluana,SE. Dia mengatakan, bahwa setiap lokasi yang menjdi percotohan RTMPE tidak ada istilah untuk besok-besok, apapun bahan yang sementara ada segera dibangun.

"Kemudian dalam pembuatan rangka baik kandang sapi maupun ayamnya, contoh bangunan yang sudah ada di Kubang dengan membawa tukang yang akan mengerjakannya tersebut ke Kubang terlebih dahulu," katanya. Jefry menjelaskan, untuk menjalankan Program RTMPE sangat mudah, namun tetap membutuhkan pendampingan agar hasilnya maksimal. Sesungguhnya, demikian Jefry, untuk menjadi kaya raya itu tidak perlu banting tulang. Melalui RTMPE, masyarakat hanya cukup mengolah lahan 1.000 meter per segi, namun hasilnya melebih hasil dari lima hektare kebun karet dan sawit.

Dari mana hasil itu didapatakan? Kepala Dinas Peternakan Kampar Zulia Dharma memaparkan :

Untuk membangun Program RTMPE di atas lahan 1.000 meter persegi, dibutuhkan dana awal sebesar Rp120 juta. Dimana Rp60 juta adalah dana untuk membeli enam ekor sapi. Kemudian dalam pekarangan RTMPE, demikian Zulia, juga akan ada upaya pengelolaan urine sapi menjadi biourine yang biaya instalasinya mencapai Rp15 juta. Begitu juga dengan untuk pengelolaan kotoran sapi menjadi biogas, dibutuhkan uang sebesar Rp15 juta untuk perlengkapannya.

Selanjutnya di atas lahan yang sama, kata dia, juga akan dipelihara sebanyak seratus ekor ayam Alpu atau ayam petelur yang akan dikawinkan dengan sepuluh pejantan jenis bangkok. Modalnya, untuk seratus ekor ayam Alpu adalah Rp7,5 juta dan Rp1,5 juta untuk pembelian sepuluh ekor ayam bangkok. Lalu untuk membangun kandang ayam tersebut, menurut Zulia, dibutuhkan dana sebesar Rp5 juta. Ditambah dengan pembuatan kolam lele sebesar Rp5 juta. Dan terakhir adalah untuk pembelian bibit ikan lele, bawang serta cabai yang nilainya sebesar Rp11 juta.

"Namun jangan khawatir, modal sebesar itu akan kembali dalam jangka waktu yang singkat. Bahkan hanya setahun. Karena hasil dari program ini mencapai Rp15 juta bahkan Rp25 juta setiap bulannya," kata dia.

Bagaimana caranya? Zulia kembali merincikan :

Untuk diketahui, bahwa dari enam ekor sapi tersebut, setiap bulannya akan menghasilkan 500 hingga 1.000 liter urine yang kemudian akan diolah menjadi biourine yang akan dijual seharga Rp15 ribu per liter. Dengan demikian, dari kencing sapi saja, keluarga RTMPE sudah menerima hasil lebih kurang Rp7,5 juta hingga Rp15 juta setiap bulannya.

Proses pengelolaan urine sapi hingga menjadi biourine menurut dia juga tidak begitu rumit. Bagaimana polanya?

Zulia memaparkan; bahwa untuk memproses urine sapi menjadi biourine dibutuhkan waktu selama 14 hari. Delapan hari pertama dilakukan fermentasi untuk menghilangkan racun yang terkandung dalam urine sapi.

Setelah itu kemudian urine dimasukkan ke dalam wadah sejenis drum. Pada wadah pertama, urine tersebut dicampurkan dengan berbagai jenis rempah, seperti jahe, temulawak, kunyit, temuireng, samuloto dan lainnya. Setelah didiamkan selama tiga hari, kemudian disaring ke drum kedua hingga didiamkan lagi selama tiga hari baru kemudian biourine dapat dimanfaatkan dan dijual.

Biogas

Pemasukan tambahan lainnya ada pada pengelolaan kotoran sapi menjadi biogas.
Bagaimana pola pengelolaannya :

Zulia memaparkan, pada tahap awal, kotoran sapi dimasukkan terlebih dahulu ke dalam wadah yang telah disediakan. Kemudian disaring ke dalam tangki besar yang menjadi satu instalasi untuk kemudian disaring menjadi biogas dengan pemanfaatan langsung.

"Biogas itu digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga seperti penerangan, listrik dan sebagai bahan bakar memasak," katanya.

Selanjutnya, kotoran yang telah disaring menjadi biogas itu, demikian Zulia, dipindahkan ke dalam wadah dengan terlebih dahulu dipisahkan antara yang padat dan yang cair.

Untuk kotoran sisa olahan biogas itu, kata Zulia, kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Setiap bulannya, dari kotoran padat saja, menghasilkan satu ton. Jika dijual Rp1.000 per kilogramnya, maka ada penghasilan tambahan bagi keluarga RTMPE sebesar Rp1 juta.

Kemudian dari kotoran cair yang juga akan diolah menjadi pupuk organik. Menurut dia dapat menghasilkan 150 hingga 250 liter setiap bulannya. "Anggap saja rata-rata menghasilkan 150 liter per bulan, jika dikalikan Rp10.000 per liternya, maka sudah menambah penghasilan sebesar Rp1,5 juta," katanya.


Bupati Kampar H jefry Noer,SH didampingi Isteri Hj Eva Yuliana,SE saat meninjau Permabunan percontohan RTMPE di Desa Aur Sati Kec Tambang selasa 11-8.


Dengan demikian, kata Zulia, dari limbah atau kotoran sapi saja, keluarga RTMPE sudah mendapatkan penghasilan rata-rata Rp10 juta setiap bulannya. "Bayangkan, hanya dari limbah atau kotoran sapi yang tadinya dianggap tak bernilai, ternyata mampu untuk membuat masyarakat menjadi kaya raya dan ini sudah terbukti," kata dia.

Untuk enam sapi yang dipelihara, lanjut Zulia, bisa menjadi tabungan dan investasi luar biasa. Karena enam ekor sapi Bali tersebut, akan menghasilkan keturunan (anak) enam ekor setiap tahunnya. Jika dalam waktu tiga tahun, maka tabungannya akan berkembang atau bertambah sebanyak 18 ekor.

Untuk diketahui, katanya, harga sapi setiap tahunnya tidak pernah turun atau terus naik. Jika sekarang dibeli dengan harga Rp10 juta per ekor, maka tahun depan bisa lebih mahal lagi. Anggap saja hingga tiga tahun ke depan harganya tetap, maka ketika itu, keluarga RTMPE sudah mendapatkan hasil sebesar Rp180 juta.

"Namun jika sapi tersebut merupakan sapi masyarakat dari bantuan pemerintah yang harus digulirkan, maka pada keturunan tahun pertama harus digulirkan. Namun untuk anak kedua di tahun kedua dan seterusnya menjadi tabungan masa depan, untuk naik haji," kata dia.

Ayam Alpu

Hasil yang tak kalah juga dapat didatangkan dari ternak ayam Alpu. Bagaimana caranya dan berapa hasil yang didapat?

Zulia kembali menjelaskan; Dalam pemeliharaan ayam petelur, dibutuhkan kandang yang terpisah hingga membentuk sepuluh kotak yang berada dalam kandang utama. Isi totalnya, yakni seratus ekor ayam Alpu dan sepuluh ekor pejantan bangkok.

Setiap satu ekor ayam bangkok, kemudian digabungkan dengan sepuluh ekor ayam Alpu. Mengapa demikian? karena telur perkawinan silang tersebut akan menghasilkan telur dengan embrio yang dapat ditetaskan. Hargaya juga tentu berbeda dengan telur ayam ras pada umumnya.

Setiap harinnya, demikian Zulia, dari seratus ekor ayam Alpu itu, dihasilkan 50 hingga 75 butir telur. Anggap saja rata-rata 50 butir, jika dikalikan Rp2.000 per butir, pemasukan tambahan keluarga RTMPE adalah sebesar Rp100.000x30 totalnya Rp3.000.000 setiap bulannya.

"Anggap saja dana sebesar Rp1 juta habis untuk biaya pakan, maka masih tersisa Rp2 juta yang dapat ditabung. Dengan demikian, dari peternakan saja, keluarga RTMPE akan mendapakan penghasilan Rp12 juta setiap bulannya plus tabungan anak sapi," kata dia.

Ternak Lele

Tambahan pemasukan lainnya kata Zulia ada pada ternak lele. Kolam lele yang dibangun di kawasan RTMPE adalah seluas 4x6 meter yang dapat di isi dengan 8.000 ekor bibit.

Bibit lele tersebut, lanjutnya, dapat dipanen setiap dua bulan dengan perkiraan hasil rata-rata Rp3,5 juta per dua bulan atau per bulannya Rp1.750.000.

Mengapa dipilih bibit lele? Menurut Zulia lele merupakan ikan dengan pakan sederhana. Salah satunya adalah dengan pengelolaan limbah pupuk organik yang ternyata bisa untuk dijadikan pakannya. Ini menghemat cukup besar biaya mengingat harga pakan lele buatan pabrik yang mahal.

Tanaman Bawang

Pemasukan keluarga RTMPE lainnya kata Zulia, adalah dari tanaman bawang dan cabai merah. Lahan yang disediakan dalam kawasan Program RTMPE untuk tanaman holtikultura ini adalah 400 meter per segi dengan pola tanam tumpang sari.

"Bibit yang dibutuhkan untuk bawang merah lebih kurang 50 kilogram dengan hasil panen mencapai 500 kilogram. Sebagian hasilnya atau sebanyak 100 kg dapat dijual dan sebagian dapat dikonsumsi hingga menunggu hasil panen selanjutnya selama 45 hari," kata dia.

Untuk bawang merah, lanjut kata dia, dapat dipasarkan dengan harga rata-rata Rp20 ribu per kilogram. Kalikan 400 kg, maka tambahan pemasukan yang didapat keluarga RTMPE adalah sebesar Rp8 juta selama dua bulan atau Rp4 juta jika dibagi setiap bulannya.

Yang terpenting menurut Zulia, untuk tanaman jenis holtikultura itu, dapat menggunakan pupuk organik hasil dari pengelolaan keluarga RTMPE. Dan itu telah terbukti hasilnya, sangat memuaskan. Bahkan lebih baik dari penggunaan pupuk kimia yang nyata-nyata dapat merusak kesuburan tanah.

Terlebih, kata dia, biourine yang dihasilkan merupakan biang, dimana satu liternya dapat dicampurkan dengan 10 liter air untuk tanaman holtikultura dan untuk tanaman sejenis kelapa sawit satu liter biourine dicampur 5 liter air.

"Itulah perincian biaya pemasukan dari Program RTMPE, yakni antara Rp15 juta hingga Rp25 juta setiap bulannya. Dengan demikian, modal sebesar Rp120 juta tentunya akan cepat kembali dan masyarakat miskin, kedepan akan menjadi kaya raya," katanya. (Humas/fzr)