MK Kubur Pasal Penghinaan Presiden, Kejagung Minta Dihidupkan Lagi

Senin, 07 September 2015

Jakarta, Beritaklik.Com - Draf RUU KUHP saat ini sedang dibahas Komisi III DPR. Salah satu yang dibahas adalah terkait kemunculan Pasal Penghinaan Presiden yang kembali muncul.

Pihak Kejaksaan Agung memberikan suara terkait persoalan ini. Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto mengatakan pasal yang membahas perlindungan hukum bagi presiden dari penghinaan bisa dipertahankan dalam RUU KUHP.

"Pasal yang mengatur perlindungan kepala negara dan wakil kepala negara dari penghinaan menimbulkan ambivalensi (pertentangan). Kami berpendapat pasal itu tetap dipertahankan, tetapi dengan catatan delik tersebut dijadikan delik aduan," kata Nirwanto dalam rapat kerja dengan Komisi III serta Kejagung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/9).

Dia melihat untuk sanksi bagi pelaku nanti mesti disesuaikan DPR yang tengah menyusun revisi RUU KUHP. Pasalnya, kesuaian ini tidak sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang diketok pada 6 Desember 2006, lalu.

Perintah MK ini tertuang dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK menyatakan pasal Penghinaan Presiden menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

"Sehingga dalam RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana," demikian bunyi putusan MK.

Terlebih lagi, menurut MK, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama 6 tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi. Khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Menurut MK, pasal Penghinaan Presiden akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. (Bki)