Bisikan Daun Cempedak..(Yusril Ardanis*)

Jumat, 15 Februari 2013

Yusril Ardanis,Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Riau

Tetapi kekuasaan adalah candu. Ajudan membungkuk-bungkuk dan barisan tetamu yang menunggu. Membuka, menutup, melantik dan meresmikan. Paraf, tandatangan, persetujuan dan restu. Seminar, simposium, panel diskusi atau menjadi pembicara dalam forum-forum terhormat. Pidato, pengarahan atau sekedar petunjuk. Dalam rapat semua mata tertuju ke badan diri. Acara belum dimulai ketika diri belum sampai ke lokasi. Prasasti tak lebih dari sebongkah batu sebelum jari ini yang menandatangani. Demikian bertahun-tahun sehingga tak sedikit penguasa yang bergumam bahwa ia telah terjebak dalam rutinitas membosankan. Detik,menit, jam dan hari yang diatur protokoler. Sulit mencari saat yang benar-benar leluasa untuk beristirahat.
Tetapi kekuasaan benar-benar seperti candu. Cobalah jika rutintas itu tiba-tiba berhenti. Seketika dunia terasa lebih sempit dan mengepung. Saat ajudan itu telah pergi dan ketika tak ada lagi tamu yang menunggu maka betapa diri tak sanggup menerima kenyataan bahwa diri ini telah kembali menjadi manusia biasa. Telah lenyap sorot mata kagum dari bawah podium itu. Para pengrajin karangan bunga menepikan kalimat yang menuliskan nama kita. Acara melantik, membuka, menutup, meresmikan itu tetap ada namun dengan tokoh selain kita. Tumpukan dokumen penting yang menentukan hajat hidup orang banyak telah beralih untuk disetujui orang lain. Di teras rumah tak ada lagi surat yang datang kecuali sesekali surat dari petugas RT yang mengabarkan gotong royong atau jadual petugas ronda. Personil sekuriti yang dulu bergantian berjaga di
gardu depan --telah lama berucap selamat tinggal. Para pembantu yang sebelumnya bahkan tak sempat kita kenali namanya --pun telah lama pamit. Agenda rapat, diskusi, seminar, simposium, sidang paripurna, mendampingi menteri,menyambut presiden - kini mengirab. Daun-daun cempedak yang tumbuh di belakang rumah seolah jadi saksi dari gairah yang pelan-pelan melindap. Duduk di teras belakang sambil memutar-mutar kenangan. Alangkah megahnya diri ini dulu, dan kini mengapa berubah pipih, melengkung dan serasa tak menyisakan harapan. Dan busyet, daun-daun cempedak itu seolah tak henti menyorakkan ketakberdayaan.
Karena itulah --didorong oleh nafsu alamiah manusia yang ingin mempertahankan segala yang merasa jadi miliknya-- maka diri lantas memutuskan untuk tak menyerah begitu saja. Orang-orang yang dulu sebarisan dipanggil lagi, sisa pencaharian dikumpulkan dan pada suatu malam yang penuh dengan asap rokok --diresmikanlah pembentukan tim sukses baru. Hidup kemudian terasa lebih punya harapan. Semangat mengalir dalam darah. Daun-daun cempedak di belakang rumah tak lagi dipandang sebagai lambing dari kekalahan.
Meski tak semeriah dulu namun keberadaan tim sukses itu seolah mengembalikan kenangan lama. Kenangan semasa berkuasa yang kini hadir seterang guruh. Mereka adalah kumpulan penasehat yang memiliki perbendaharaan pujian berlimpah. Pujian dan harapan yang terus-menerus diguyurkan sehingga terkadang diri serasa mengawang. Serasa telah menang meski pilkada belum lagi dimulai. Pantang surut tak ada persneling mundur. Layar telah dikibarkan dan samudera politik yang menyimpan rahasia tak terperi itu begitu kencang memanggil-manggil. Marilah mencemplungkan diri, berhanyut-hanyut sambil bersiap menerima apa segala tiba. Tak ada rencana yang benar-benar seperti rencana. Strategi besarnya cuma dengan menyiapkan kiat yang berubah-ubah. Cuaca akan terus bertukar dan politik kontemporer adalah anomali dari musim tak menentu. Lantas drum dibalikkan dan panggung didirikan. Tukang sate membuat asap dan tukang bakso memukul kentongan. Artis dangdhut diundang ke pentas kampanye lalu orang berjoget di bawah matahari jam 12 siang. Tempik sorak dan yel-yel. Janji diumbar dan kaos dibagikan. Ternyata kekuasaan juga membutuhkan simbah keringat disamping uang yang mengalir sampai jauh, kenekatan dan jerih payah membangun pencitraan.
Sebelum masa panen suara jangan lupa berdoa. Mewanti-wanti hati agar berhati-hati jika tak menang. Bilik-bilik suara akan menentukan nasib. Para pemilih --yang sebagian tak memilih-- itu adalah penentu masa depan. Diri merasa kecil di hadapan pemilih yang ternyata adalah penentu segalanya. Lalu suara dihitung, dan ternyata kita tak menang. Kalah!
Pulang ke rumah adalah kesepian yang kembali mengurung. Lebih senyap saat tim sukses juga berlalu--mungkin sambil berjingkat-jingkat. Entah kemanakah mereka semua kini. Lihatlah di belakang rumah daun-daun cempedak kembali berkabar tentang kisah seorang pecundang. Tetapi tidak. Tak akan kalah diri dengan daun cempedak. Lima tahun lagi ia telah bertekat untuk mencoba lagi. Bukankah rakyat masih membutuhkannya?

(*) Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Riau.