Yusril Ardanis,Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Riau
Tetapi kekuasaan adalah candu. Ajudan
membungkuk-bungkuk dan barisan tetamu yang menunggu. Membuka, menutup, melantik dan meresmikan. Paraf, tandatangan,
persetujuan dan restu. Seminar,
simposium, panel diskusi atau menjadi pembicara dalam forum-forum terhormat. Pidato, pengarahan atau sekedar
petunjuk. Dalam rapat semua mata tertuju
ke badan diri. Acara belum dimulai ketika diri belum sampai ke lokasi. Prasasti tak lebih dari sebongkah batu sebelum
jari ini yang menandatangani. Demikian
bertahun-tahun sehingga tak sedikit penguasa
yang bergumam bahwa ia telah terjebak dalam rutinitas membosankan. Detik,menit, jam dan hari yang diatur
protokoler. Sulit mencari saat yang
benar-benar leluasa untuk beristirahat.
Tetapi kekuasaan benar-benar seperti candu.
Cobalah jika rutintas itu tiba-tiba berhenti.
Seketika dunia terasa lebih sempit dan
mengepung. Saat ajudan itu telah pergi dan ketika tak ada lagi tamu yang menunggu maka betapa diri tak sanggup
menerima kenyataan bahwa diri ini telah
kembali menjadi manusia biasa. Telah lenyap sorot mata kagum dari bawah podium itu. Para pengrajin karangan
bunga menepikan kalimat yang menuliskan
nama kita. Acara melantik, membuka, menutup, meresmikan itu tetap ada namun dengan tokoh selain kita. Tumpukan
dokumen penting yang menentukan hajat
hidup orang banyak telah beralih untuk disetujui
orang lain. Di teras rumah tak ada lagi surat yang datang kecuali sesekali surat dari petugas RT yang
mengabarkan gotong royong atau jadual
petugas ronda. Personil sekuriti yang dulu bergantian berjaga di
gardu depan --telah lama berucap selamat
tinggal. Para pembantu yang sebelumnya
bahkan tak sempat kita kenali namanya --pun telah lama pamit. Agenda rapat, diskusi, seminar, simposium, sidang
paripurna, mendampingi menteri,menyambut
presiden - kini mengirab. Daun-daun cempedak yang tumbuh di belakang rumah seolah jadi saksi dari gairah yang
pelan-pelan melindap. Duduk di teras
belakang sambil memutar-mutar kenangan. Alangkah megahnya diri ini dulu, dan kini mengapa berubah pipih,
melengkung dan serasa tak menyisakan
harapan. Dan busyet, daun-daun cempedak itu seolah tak henti menyorakkan ketakberdayaan.
Karena itulah --didorong oleh nafsu alamiah
manusia yang ingin mempertahankan segala
yang merasa jadi miliknya-- maka diri lantas memutuskan untuk tak menyerah begitu saja. Orang-orang yang dulu
sebarisan dipanggil lagi, sisa
pencaharian dikumpulkan dan pada suatu malam yang penuh dengan asap rokok --diresmikanlah pembentukan
tim sukses baru. Hidup kemudian terasa
lebih punya harapan. Semangat mengalir dalam darah. Daun-daun cempedak di belakang rumah tak lagi
dipandang sebagai lambing dari kekalahan.
Meski tak semeriah dulu namun keberadaan tim
sukses itu seolah mengembalikan kenangan
lama. Kenangan semasa berkuasa yang kini hadir seterang guruh. Mereka adalah kumpulan penasehat yang memiliki perbendaharaan pujian berlimpah. Pujian dan harapan
yang terus-menerus diguyurkan sehingga
terkadang diri serasa mengawang. Serasa telah menang meski pilkada belum lagi dimulai. Pantang surut tak
ada persneling mundur. Layar telah
dikibarkan dan samudera politik yang menyimpan rahasia tak terperi itu begitu kencang memanggil-manggil. Marilah
mencemplungkan diri, berhanyut-hanyut
sambil bersiap menerima apa segala tiba. Tak ada rencana yang benar-benar seperti rencana. Strategi besarnya
cuma dengan menyiapkan kiat yang
berubah-ubah. Cuaca akan terus bertukar dan politik kontemporer adalah anomali dari musim tak menentu. Lantas drum
dibalikkan dan panggung didirikan. Tukang
sate membuat asap dan tukang bakso memukul kentongan. Artis dangdhut diundang ke pentas kampanye lalu orang
berjoget di bawah matahari jam 12 siang.
Tempik sorak dan yel-yel. Janji diumbar dan kaos dibagikan. Ternyata kekuasaan juga membutuhkan simbah keringat disamping
uang yang mengalir sampai jauh, kenekatan dan
jerih payah membangun pencitraan.
Sebelum masa panen suara jangan lupa berdoa.
Mewanti-wanti hati agar berhati-hati jika
tak menang. Bilik-bilik suara akan menentukan nasib. Para pemilih --yang sebagian tak memilih-- itu adalah
penentu masa depan. Diri merasa kecil di
hadapan pemilih yang ternyata adalah penentu segalanya. Lalu suara dihitung, dan ternyata kita tak menang. Kalah!
Pulang ke rumah adalah kesepian yang kembali
mengurung. Lebih senyap saat tim sukses
juga berlalu--mungkin sambil berjingkat-jingkat. Entah kemanakah mereka semua kini. Lihatlah di belakang
rumah daun-daun cempedak kembali berkabar
tentang kisah seorang pecundang. Tetapi tidak. Tak akan kalah diri dengan daun cempedak. Lima tahun lagi ia
telah bertekat untuk mencoba lagi.
Bukankah rakyat masih membutuhkannya?
(*) Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI) Riau.