Adakah Kontrak Kerja Khusus Bagi Pekerja Difabel ?

Selasa, 01 September 2015

Beritaklik.Com

Intisari :

Pada dasarnya, tidak ada aturan khusus soal kontrak/perjanjian kerja bagi pekerja difabel yang membedakan dengan pekerja lainnya. Namun, ada aspek-aspek yang perlu diperhatikan oleh pengusaha dalam membuat perjanjian kerja dengan pekerja difabel, misalnya pengusaha wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.



Ulasan :


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ("KBBI") pada laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, istilah "difabel" tidak ditemukan. Namun, di sebuah makalah yang kami akses dari laman resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional ("BPHN"), penggunaan kata difabel merupakan pengindonesiaan dari "difabled people" yang merupakan kependekan dari different ability people atau yang dapat diartikan dengan seseorang dengan kemampuan berbeda. Kata difabel memiliki hubungan dengan istilah disable. Disable sendiri bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti kecacatan, dan penggunaan istilah kecacatan memiliki transisi perubahan yang cukup signifikan sesuai dengan persepsi dan penerimaan masyarakat secara luas.

Dari artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa difabel memiliki pengertian orang yang memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya atau bisa juga orang yang mempunyai suatu keterbatasan yang membuatnya berbeda dari orang lainnya.

Berdasarkan penelusuran kami dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketenagakerjaan, pada dasarnya tidak ada perbedaan khusus tentang perjanjian kerja yang diperuntukkan bagi pekerja pada umumnya dengan pekerja difabel. Hal ini karena aturan ketenagakerjaan menganut prinsip perlakuan yang sama (tanpa diskriminasi) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("UU Ketenagakerjaan") yang berbunyi:

"Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan."


Prinsip ini memiliki arti bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat (lihat Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan).

Prinsip ini juga disebut dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat ("UU 4/1997") yang menyatakan bahwa:

"Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan".

Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 UU 4/1997 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sesuai Pasal 28 UU 4/1997.

Akan tetapi, ada hal-hal khusus yang perlu diperhatikan oleh pengusaha dalam mempekerjakan pekerja difabel menurut UU Ketenagakerjaan, antara lain:

1.
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan (Pasal 19 UU Ketenagakerjaan)
2.
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Perlindungan ini misalnya penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya. [Pasal 67 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya]

Menjawab pertanyaan Anda soal kontrak/perjanjian kerja bagi pekerja difabel, masih bersumber dari laman BPHN, disebutkan bahwa Bab IX dalam UU Ketenagakerjaan mengenai Hubungan Kerja, tidak terdapat pasal-pasal yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan hak-hak tenaga kerja penyandang cacat. Secara garis besar pada bab ini hanya menjelaskan mengenai perjanjian kerja, baik secara pengertian perjanjian kerja ini sendiri juga mengenai seluk beluk prosedur pengadaan perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Namun, menurut hemat kami soal perjanjian kerja, pengusaha perlu memperhatikan prinsip perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan yaitu, dibuat secara tertulis atau lisan.

Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis itu sendiri harus sekurang-kurangnya memuat: [Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan]

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

c. jabatan atau jenis pekerjaan;

d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Oleh karena itu, selain perjanjian kerja memuat hal-hal di atas, pengusaha juga perlu menuangkan hal-hal khusus yang perlu diperhatikan pada Pasal 19 dan Pasal 67 UU Ketenagakerjaan dalam perjanjian kerja dengan pekerja difabel yang bersangkutan. Dengan kata lain, pengusaha yang mempekerjakan pekerja difabel perlu memastikan bahwa ketentuan-ketentuan di atas tertuang baik dalam perjanjian kerja sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan pekerja difabel.

Sebagai contoh adalah masalah pembagian upah bagi pekerja yang tertuang dalam perjanjian kerja. Masih bersumber dalam sebuah makalah yang kami akses dari laman Badan Pembinaan Hukum Nasional ("BPHN"), dijelaskan bahwa Pemberian upah untuk pekerjaan dan jabatan yang sama tanpa adanya diskriminasi dapat diartikan bahwa upah yang diberikan kepada pekerja difabel tidak dibedakan dengan upah tenaga kerja yang lainnya sesuai dengan perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Jadi, dalam makalah tersebut dijelaskan pula bahwa pemberian upah terhadap tenaga kerja difabel ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan. Upah yang diberikan terhadap pekerja difabel harus sama dengan upah yang diberikan terhadap pekerja lainnya yang bukan difabel. Karena terdapat ketentuan yang menegaskan adanya perlakuan yang tidak diskriminatif mengenai kesamaan pengupahan untuk pekerjaan dan jabatan yang sama bagi tenaga kerja difabel. Karena dari segi hasil produktifitas pekerja difabel tidak jauh berbeda dengan produktifitas pekerja yang lainnya.

Dari segi kontrak kerja, kami mencontohkan kontrak kerja bagi pekerja difabel tuna netra. Pada dasarnya, kontrak dapat dibuat secara tertulis atau lisan sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Namun, bagi perjanjian kerja untuk waktu tertentu perjanjian tersebut wajib dibuat secara tertulis sebagaimana disebut dalam Pasal 57 UU Ketenagakerjaan:

(1)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

(2)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.

(3)Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.


Tidak hanya itu, perjanjian kerja juga dibuat atas dasar: [Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan]

a. kesepakatan kedua belah pihak;

b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu, kontrak atau perjanjian kerja bagi pekerja difabel tuna netra yang dipekerjakan untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis. Selain itu, untuk memenuhi unsur kesepakatan dalam perjanjian, menurut hemat kami, sebaiknya perjanjian kerja dibuat juga menggunakan huruf Braille agar pekerja difabel mengetahui pasti apa yang telah disepakatinya. Hal ini semata-mata bertujuan untuk melindungi kepentingan pekerja difabel itu sendiri.

Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.




Dasar hukum:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Referensi:

http://www.bphn.go.id/data/documents/lit-2011-2.pdf, diakses pada 31 Maret 2015 pukul 11.50 WIB.