Jakarta, Beritaklik.Com - Draf RUU KUHP saat ini sedang dibahas Komisi III DPR.
Salah satu yang dibahas adalah terkait kemunculan Pasal Penghinaan
Presiden yang kembali muncul.
Pihak Kejaksaan Agung memberikan
suara terkait persoalan ini. Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto mengatakan
pasal yang membahas perlindungan hukum bagi presiden dari penghinaan
bisa dipertahankan dalam RUU KUHP.
"Pasal yang mengatur
perlindungan kepala negara dan wakil kepala negara dari penghinaan
menimbulkan ambivalensi (pertentangan). Kami berpendapat pasal itu tetap
dipertahankan, tetapi dengan catatan delik tersebut dijadikan delik
aduan," kata Nirwanto dalam rapat kerja dengan Komisi III serta Kejagung
di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/9).
Dia melihat untuk
sanksi bagi pelaku nanti mesti disesuaikan DPR yang tengah menyusun
revisi RUU KUHP. Pasalnya, kesuaian ini tidak sama dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi yang diketok pada 6 Desember 2006, lalu.
Perintah
MK ini tertuang dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK menyatakan
pasal Penghinaan Presiden menegasi prinsip persamaan di depan hukum,
mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan
akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
"Sehingga dalam RUU
KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga
harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana," demikian bunyi
putusan MK.
Terlebih lagi, menurut MK, ancaman pidana terhadap
pelanggaran Pasal 134 paling lama 6 tahun penjara dapat dipergunakan
untuk menghambat proses demokrasi. Khususnya akses bagi jabatan-jabatan
publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Menurut
MK, pasal Penghinaan Presiden akan dapat menjadi ganjalan dan/atau
hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. (Bki)