Mahfud MD: Menggugat Perguruan Tinggi.

Ahad, 13 Maret 2016

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi.
Beritaklik.Com -
Dua hari lalu, Kamis, 10 Maret 2016, dalam sidang Pimpinan Universitas dan Dewan Penyantun Universitas Sebelas Maret (UNS) terjadi diskusi yang sangat serius mengenai situasi berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, terutama menyangkut peran perguruan tinggi.

Pertemuan yang berlangsung di Solo tersebut sebenarnya merupakan pertemuan rutin tengah tahunan, tetapi kali ini menjadi agak istimewa karena UNS memasuki dies natalis-nya yang ke-40 atau lima windu. Tentang perkembangan dan kemajuan UNS hampir tidak ada masalah. Semua yang hadir memberi apresiasi.

Universitas yang didirikan pada 1976 dan dibanggakan sebagai warisan Orde Baru itu dinilai sudah mengalami kemajuan yang sangat mengesankan. Posisinya sekarang sudah berada di peringkat kesembilan, masuk ke dalam 11 perguruan terbaik dari ribuan perguruan tinggi berdasar pemeringkatan versi Kemenristek Dikti di Indonesia.

Selain itu UNS juga menempati peringkat akreditasi terbaik ketiga setelah UGM dan IPB berdasar penilaian Badan Akreditasi Nasional. Persoalan yang didiskusikan, jadinya, memang tidak spesifik menyangkut UNS, melainkan lebih terkait dengan situasi umum perguruan tinggi di Indonesia.

Kini ada kekhawatiran tentang melemahnya nilainilai moral dan idealisme perjuangan perguruan tinggi bagi masa depan Indonesia. Mantan Menteri Pendidikan Nasional Malik Fajar, misalnya, menyatakan kecemasannya karena perguruan tinggi saat ini lebih asyik dengan diri sendiri sehingga seakan tak peduli lagi dengan problem bangsa dan negaranya.

Padahal perguruan tinggi seharusnya memiliki kepedulian yang mendalam terhadap masa depan bangsa dan negaranya. Pada masa lalu sering diungkapkan, perguruan tinggi tidak boleh menjadi menara gading, tetapi harus menjadi menara air, tidak boleh elitis melainkan harus populis dan berpijak di bumi sendiri. Keadaan perguruan tinggi kini cukup mengkhawatirkan karena mulai agak melenceng dari nilai-nilai idealisme dan tugas sejarahnya.

Perguruan tinggi dalam banyak hal hanya dijadikan simbol keterhormatan. Dengan ijazah perguruan tinggi seseorang bisa menjadi lebih terhormat dan bisa menggunakan ijazah itu untuk meraih kedudukan penting. Soal mutu kemudian menjadi tidak penting karena yang dipentingkan adalah ijazah dan segala civil effect yang melekat padanya.

Dalam keadaan demikian, di sana-sini banyak sekali yang mendaftar sebagai mahasiswa hanya karena ingin mendapatkan ijazah, bukan ingin mencari ilmu. Berdasar pengalaman, banyak peserta pendidikan pascasarjana, misalnya, membuat karya ilmiah dengan cara plagiasi.

Kalau diberi tugas untuk menulis makalah ilmiah misalnya, ada yang menjiplak dan mengganti sampul suatu paper dengan identitas sendiri atas karya orang lain. Ada juga yang paper-nya dibuatkan orang lain sehingga ketika diuji tidak paham atas makalah yang dikumpulkan sebagai karyanya kepada dosen yang mengajarnya.

Tak sedikit juga yang hanya membuat satu karya ilmiah tertentu, tetapi kemudian diperbanyak dan masingmasing diberi sampul yang berbeda- beda untuk kemudian dikumpulkan guna memenuhi tugas mata kuliah yang berbedabeda.

Perkembangan ini sungguh mengkhawatirkan karena kalau ketidakjujuran ilmiah sudah dilakukan sejak mahasiswa saat masih belajar di kampus, bukan tidak mungkin, bahkan sangat mungkin, ketidakjujuran itu dilakukan lagi setelah mereka keluar dari kampus.

Logika sederhana yang bisa menjelaskan ini, jika seseorang berani membohongi diri sendiri dengan memalsukan atau menukangi karya ilmiah dan melakukan pencurian (plagiasi) atas karya orang lain, tentu akan dengan mudah dia menipu masyarakat, termasuk melakukan korupsi dalam kehidupan bernegara dengan menggunakan jabatannya.

Ironisnya, gejala penyakit yang menimpa banyak perguruan tinggi sekarang ini sebenarnya bukan hanya terjadi pada mahasiswa, melainkan juga banyak menimpa para dosen dan pimpinan perguruan tinggi.

Guru besar Fakultas Ekonomi UGM Gunawan Sumodiningrat yang juga menjadi anggota Dewan Penyantun UNS, misalnya, menyatakan sekarang ini banyak dosen dan pengelola perguruan tinggi yang bukan hanya tidak peka terhadap problem masyarakat, bangsa, dan negara, melainkan juga abai terhadap tugasnya dalam mendidik mahasiswa.

Mereka banyak yang bersikap pragmatis dan hedonis sehingga tidak peduli mau seperti apa kualitas dan moralitas mahasiswanya kelak. Mereka tidak peduli dan tidak mau turut meluruskan bangsa dan negara yang sekarang masyarakatnya sedang dilanda disorientasi. Di tengah-tengah masyarakat sekarang ini juga sedang terjadi polarisasi sehingga arah perjalanan politik banyak diganggu kegaduhan yang membuat kita oleng dan perguruan tinggi tidak memedulikannya.

Di tengah-tengah masyarakat terjadi saling tuding dan saling menyalahkan, bahkan banyak yang menyalahkan babakan- babakan sejarah masa lalu. Yang satu menyalahkan Orde Baru, yang lain menyalahkan Orde Reformasi, yang lain lagi menyalahkan Orde Lama.

Kata Gunawan Sumodiningrat, dunia akademik dan perguruan tinggilah yang harus menyelesaikan problem-problem itu dengan membuat arus besar untuk mengajak bangsa ini "berdamai dengan sejarah".

Perguruan tinggi harus kembali ke khitahnya menjadi menara air yang menyejukkan dan menyuburkan lingkungannya, menjadi menara api yang menerangi sekitarnya, meluruskan perjalanan bangsa agar tak kehilangan orientasi. Perguruan tinggi tidak boleh menjadi menara gading yang tampak indah jika dilihat, tetapi tidak memberi manfaat kepada sekelilingnya.
Sumber : Koran-sindo.com (Bki)