Isra" Mi"raj
BANGKINANG.Inti dari Isra’ Mi’raj adalah Sholat, demikian salah satu poin yang disampaikan oleh Abuya Drs H Awir Muin Domo pada Tausiahnya dalam rangka memperingati Isra’ dan Mi’raj tingkat Kab. Kampar hari kamis (20/06) di Masjid Jami’ Al-Ihsan Markaz Islami Kab. Kampar, yang di hadiri langsung oleh Bupati Kampar H Jefry Noer, Anggota DPRD Kab. Kampar, Sekda Kab. Kampar, Seluruh Kepala Dinas, Camat, dan ribuan masyarakat yang hadir.
Dalam tausiyahnya Azwir mengatakan, Shalat adalah Mi’rajnya orang-orang mukmin. Dari shalat itu sendiri dapat dipetik beberapa hikmah, diantaranya adalah; pertama dimensi waktu, dimana shalat tersebut tidak wajib kalau belum masuk waktunya. Shalat juga tidak sah apabila dikerjakan di luar waktunya. Dengan demikian umat Islam sangat dituntut untuk menghargai waktu dan disiplin. Tidak akan terlambat dalam melaksanakan tugas, tidak terlambat masuk ke kantor, tidak terlambat menghadiri rapat, dan lain sebagainya.
Kedua dimensi thaharah, atau dimensi kebersihan dan kesucian. Kebersihan dan kesucian merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Shalat yang dilakukan tidak akan sah apabila pakaian dan tempat shalat kotor, atau tidak suci. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, seorang mukmin sangat dituntut untuk memperhatikan kesucian diri, baik yang akan dimakan, diminum, pakaian, dan tempat tinggal. Menghindarkan diri dari memakan dan meminum dari yang haram, baik zatnya, maupun dari segi cara mendapatkannya.
Dimensi ketiga adalah menutup aurat. Shalat tidak sah kalau aurat orang yang mengerjakannya terbuka. Demikian pula hendaknya di luar shalat. Dengan memperhatikan ketentuan menutup aurat tersebut, tentunya tidak ditemukan lagi anak gadis kita yang berpakaian serba senteng, pendek, dan ketat. Demikian pula halnya dengan anak laki-laki yang berpakaian di atas lutut.
Dimensi keempat, adalah menghadap kiblat, shalat tidak sah kalau tidak menghadap kiblat, kecuali dalam kondisi yang tidak normal, yang tidak diketahui arahnya, seperti dalam kendaraan, di hutan, dan lain sebagainya. Dengan ketentuan menghadap kiblat ini, tentunya seorang muslim menatap masa depannya terarah jauh ke depan. Dimensi kelima, yaitu dimensi khusu’. Dimensi khusu’ sangat diperlukan dalam shalat, meskipun sangat berat. Dengan demikian, berarti seorang muslim mengerjakan sesuatu dengan penuh kesungguhan dan konsentrasi dan hati-hati.
Dimensi Keenam patuh kepada imam dalam shalat berjama’ah. Apabila imam rukuk, makmumpun ikut rukuk, kalau imam sujud, makmum juga sujud, selama wuhdhu’ imam belum batal. Tetapi apabila ada imam yang keliru atau lupa dalam bacaan shalat, maka makmum boleh mengingatkannya dengan penuh etika, yaitu dengan ucapan subhanallah, bukan ditarik kebelakang. Dengan ketentuan ini berarti seorang muslim harus loyal dan patuh kepada pimpinan. Apabila ada pimpinan yang keliru dan tersalah, maka akan diingatkan dengan penuh kesopanan. Apabila setiap dimensi hikmah perintah shalat ini diperhatikan dan diamalkan dengan baik, maka insya Allah kehidupan yang baik akan diperoleh oleh setiap muslim, tutup Azwir.(bk.mr)