Warga Berharap RTMPE Mampu Tekan Inflasi, Jon Erizal Yakin RTMPE Mampu Tekan Inflasi
Bupati Kampar H jefry Noer,SH saat meninjau Permabunan percontohan RTMPE di Desa Aur Sati Kec Tambang selasa 11-8.
Kampar, Beritaklik.Com - Sejumlah warga di Kabupaten Kampar dan daerah lainnya
di Riau mengharapkan Program Rumah Tangga Mandiri Pangan Energi (RTMPE) dapat
segera terwujud hingga pelosok desa dan mampu menekan inflasi yang selama ini
kian meningkat."Kami berharap Pemda Kampar mempercepat terlaksananya RTMPE
hingga ke desa-desa. Itu agar kami tidak kesulitan dalam bebagai hal termasuk
membeli kebutuhan pangan," kata Junaidi (44), warga Kecamatan Tambang,
Kampar, Rabu (12/8).
Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Riau itu menambahkan, bahwa jika RTMPE
terlaksana secara baik, maka akan mampu menyejahterakan masyarakat secara
merata, bahkan mampu menekan laju inflasi. Sebelumnya Legislator Komisi XI
DPR-RI, Jon Erizal menyatakan kekaguman atas berbagai program yang dijalankan
Pemerintah Kabupaten Kampar khususnya Program Rumah Tangga Mandiri Pangan dan
Energi (RTMPE) karena berpotensi menekan inflasi.
"Ini menjadi kebanggaan bagi kita bersama dan harus mendapat dukungan
semua pihak khususnya perbankan," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI itu. Jon
Erizal bersama sejumlah anggota Komisi XI DPR RI lainnya telah berkunjung ke
Kampar dan melihat langsung program andalan itu. Jon Erizal mengatakan, program
nyata yang dijalankan Pemda Kampar patut menjadi model atau pusat percontohan
bagi daerah lainnya, baik itu di Riau maupun skala nasional.
"Selama ini banyak pihak terutama pemerintah, mengeluhkan inflasi akibat
berbagai hal. Dan banyak masukan untuk mengatasinya, hanya saja sebatas
retorika," katanya. Namun tidak untuk di Kampar, demikian Jon Erizal, yang
telah melakukan berbagai upaya lewat program-program potensial, salah satunya
adalah RTMPE. Melalui program ini, masyarakat diajarkan untuk mandiri,
mengelola lahan yang tidak begitu luas, namun hasilnya luar biasa.
Jon Erizal mengatakan, karya nyata ini harus mendapat dukungan dari semua
pihak, termasuk Pemerintah Pusat dan masyarakat. "Sesungguhnya para
tokoh-tokoh terdahulu itu, mereka sukses membangun karena kerja nyata mereka.
Terutama dalam membangun karakter, ahklak dan moral masyarakat seperti yang
dilakukan Kampar saat ini," katanya. Bupati Kampar Jefry Noer mengatakan
pihaknya sangat serius untuk mengembangkan Program RTMPE bahkan hingga ke
masyarakat di seluruh pedesaan di Kampar.
RTMPE merupakan program pengelolaan lahan seribu meter per segi, di dalamnya
masyarakat diajarkan untuk memelihara enam ekor sapi dimana kotoran dan
urinenya diolah menjadi biogas, pupuk organik dan biourine berkualitas baik. Selain
itu juga dapat memelihara seratus ekor ayam Alpu yang dikawinkan dengan sepuluh
ekor pejantan Bangkok. Tujuannya agar telur yang dihasilkan bisa ditetaskan dan
nilainya yang lebih tinggi. Di atas lahan seribu meter per segi itu, masyarakat
juga bisa memelihara ikan lele, menanam sayuran, cabai dan bawang merah, bahkan
rumah jamur. Hasil yang potensial bahkan mencapai Rp15 juta hingga Rp25 juta
per bulan.
"Ini program yang bisa membuat masyarakat tidak hanya bebas dari
kemiskinan, namun juga bisa membuat mereka menjadi kaya raya," katanya. Untuk
memastikan Program RTMPE berjalan lancar, Jefry Noer kemudian melakukan upaya
percepatan. Karena tahun ini dia menargetkan sudah akan terealisasi seribu
hingga 2.000 RTMPE di berbagai wilayah. Para pejabat eselon di daerah itu juga
diwajibkan untuk menjalankannya. Pada APBD Perubahan, juga akan ada alokasi
dana untuk program tersebut.
Jefry juga melakukan pemantaua langsung, rutin. terakhir dia meninjau rencana
pembangunan RTMPE di Pasir Putih dan Desa Pandau Jaya, Kecamatan Siak Hulu
serta di Desa Aur Sati, Kecamatan Tambang. Dalam kunjungan tersebut Jefry Noer
di dampingi Ketua TP-PKK Kampar Hj Eva Yuluana,SE. Dia mengatakan, bahwa setiap
lokasi yang menjdi percotohan RTMPE tidak ada istilah untuk besok-besok, apapun
bahan yang sementara ada segera dibangun.
"Kemudian dalam pembuatan rangka baik kandang sapi maupun ayamnya, contoh
bangunan yang sudah ada di Kubang dengan membawa tukang yang akan
mengerjakannya tersebut ke Kubang terlebih dahulu," katanya. Jefry
menjelaskan, untuk menjalankan Program RTMPE sangat mudah, namun tetap
membutuhkan pendampingan agar hasilnya maksimal. Sesungguhnya, demikian Jefry,
untuk menjadi kaya raya itu tidak perlu banting tulang. Melalui RTMPE,
masyarakat hanya cukup mengolah lahan 1.000 meter per segi, namun hasilnya
melebih hasil dari lima hektare kebun karet dan sawit.
Dari mana hasil itu didapatakan? Kepala Dinas Peternakan Kampar Zulia Dharma
memaparkan :
Untuk membangun Program RTMPE di atas lahan 1.000 meter persegi, dibutuhkan
dana awal sebesar Rp120 juta. Dimana Rp60 juta adalah dana untuk membeli enam
ekor sapi. Kemudian dalam pekarangan RTMPE, demikian Zulia, juga akan ada upaya
pengelolaan urine sapi menjadi biourine yang biaya instalasinya mencapai Rp15
juta. Begitu juga dengan untuk pengelolaan kotoran sapi menjadi biogas,
dibutuhkan uang sebesar Rp15 juta untuk perlengkapannya.
Selanjutnya di atas lahan yang sama, kata dia, juga akan dipelihara sebanyak
seratus ekor ayam Alpu atau ayam petelur yang akan dikawinkan dengan sepuluh
pejantan jenis bangkok. Modalnya, untuk seratus ekor ayam Alpu adalah Rp7,5
juta dan Rp1,5 juta untuk pembelian sepuluh ekor ayam bangkok. Lalu untuk
membangun kandang ayam tersebut, menurut Zulia, dibutuhkan dana sebesar Rp5
juta. Ditambah dengan pembuatan kolam lele sebesar Rp5 juta. Dan terakhir
adalah untuk pembelian bibit ikan lele, bawang serta cabai yang nilainya
sebesar Rp11 juta.
"Namun jangan khawatir, modal sebesar itu akan kembali dalam jangka waktu
yang singkat. Bahkan hanya setahun. Karena hasil dari program ini mencapai Rp15
juta bahkan Rp25 juta setiap bulannya," kata dia.
Bagaimana caranya? Zulia kembali merincikan :
Untuk diketahui, bahwa dari enam ekor sapi tersebut, setiap bulannya akan
menghasilkan 500 hingga 1.000 liter urine yang kemudian akan diolah menjadi
biourine yang akan dijual seharga Rp15 ribu per liter. Dengan demikian, dari
kencing sapi saja, keluarga RTMPE sudah menerima hasil lebih kurang Rp7,5 juta
hingga Rp15 juta setiap bulannya.
Proses pengelolaan urine sapi hingga menjadi biourine menurut dia juga tidak
begitu rumit. Bagaimana polanya?
Zulia memaparkan; bahwa untuk memproses urine sapi menjadi biourine dibutuhkan
waktu selama 14 hari. Delapan hari pertama dilakukan fermentasi untuk
menghilangkan racun yang terkandung dalam urine sapi.
Setelah itu kemudian urine dimasukkan ke dalam wadah sejenis drum. Pada wadah
pertama, urine tersebut dicampurkan dengan berbagai jenis rempah, seperti jahe,
temulawak, kunyit, temuireng, samuloto dan lainnya. Setelah didiamkan selama
tiga hari, kemudian disaring ke drum kedua hingga didiamkan lagi selama tiga
hari baru kemudian biourine dapat dimanfaatkan dan dijual.
Biogas
Pemasukan tambahan lainnya ada pada pengelolaan kotoran sapi menjadi biogas.
Bagaimana pola pengelolaannya :
Zulia memaparkan, pada tahap awal, kotoran sapi dimasukkan terlebih dahulu ke
dalam wadah yang telah disediakan. Kemudian disaring ke dalam tangki besar yang
menjadi satu instalasi untuk kemudian disaring menjadi biogas dengan
pemanfaatan langsung.
"Biogas itu digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga seperti
penerangan, listrik dan sebagai bahan bakar memasak," katanya.
Selanjutnya, kotoran yang telah disaring menjadi biogas itu, demikian Zulia,
dipindahkan ke dalam wadah dengan terlebih dahulu dipisahkan antara yang padat
dan yang cair.
Untuk kotoran sisa olahan biogas itu, kata Zulia, kemudian dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik. Setiap bulannya, dari kotoran padat saja, menghasilkan
satu ton. Jika dijual Rp1.000 per kilogramnya, maka ada penghasilan tambahan
bagi keluarga RTMPE sebesar Rp1 juta.
Kemudian dari kotoran cair yang juga akan diolah menjadi pupuk organik. Menurut
dia dapat menghasilkan 150 hingga 250 liter setiap bulannya. "Anggap saja
rata-rata menghasilkan 150 liter per bulan, jika dikalikan Rp10.000 per
liternya, maka sudah menambah penghasilan sebesar Rp1,5 juta," katanya.
Bupati Kampar H jefry Noer,SH didampingi Isteri Hj Eva Yuliana,SE saat meninjau Permabunan percontohan RTMPE di Desa Aur Sati Kec Tambang selasa 11-8.
Dengan demikian, kata Zulia, dari limbah atau kotoran sapi saja, keluarga RTMPE
sudah mendapatkan penghasilan rata-rata Rp10 juta setiap bulannya.
"Bayangkan, hanya dari limbah atau kotoran sapi yang tadinya dianggap tak
bernilai, ternyata mampu untuk membuat masyarakat menjadi kaya raya dan ini
sudah terbukti," kata dia.
Untuk enam sapi yang dipelihara, lanjut Zulia, bisa menjadi tabungan dan
investasi luar biasa. Karena enam ekor sapi Bali tersebut, akan menghasilkan
keturunan (anak) enam ekor setiap tahunnya. Jika dalam waktu tiga tahun, maka
tabungannya akan berkembang atau bertambah sebanyak 18 ekor.
Untuk diketahui, katanya, harga sapi setiap tahunnya tidak pernah turun atau
terus naik. Jika sekarang dibeli dengan harga Rp10 juta per ekor, maka tahun
depan bisa lebih mahal lagi. Anggap saja hingga tiga tahun ke depan harganya
tetap, maka ketika itu, keluarga RTMPE sudah mendapatkan hasil sebesar Rp180
juta.
"Namun jika sapi tersebut merupakan sapi masyarakat dari bantuan
pemerintah yang harus digulirkan, maka pada keturunan tahun pertama harus
digulirkan. Namun untuk anak kedua di tahun kedua dan seterusnya menjadi
tabungan masa depan, untuk naik haji," kata dia.
Ayam Alpu
Hasil yang tak kalah juga dapat didatangkan dari ternak ayam Alpu. Bagaimana
caranya dan berapa hasil yang didapat?
Zulia kembali menjelaskan; Dalam pemeliharaan ayam petelur, dibutuhkan kandang
yang terpisah hingga membentuk sepuluh kotak yang berada dalam kandang utama.
Isi totalnya, yakni seratus ekor ayam Alpu dan sepuluh ekor pejantan bangkok.
Setiap satu ekor ayam bangkok, kemudian digabungkan dengan sepuluh ekor ayam
Alpu. Mengapa demikian? karena telur perkawinan silang tersebut akan
menghasilkan telur dengan embrio yang dapat ditetaskan. Hargaya juga tentu
berbeda dengan telur ayam ras pada umumnya.
Setiap harinnya, demikian Zulia, dari seratus ekor ayam Alpu itu, dihasilkan 50
hingga 75 butir telur. Anggap saja rata-rata 50 butir, jika dikalikan Rp2.000
per butir, pemasukan tambahan keluarga RTMPE adalah sebesar Rp100.000x30
totalnya Rp3.000.000 setiap bulannya.
"Anggap saja dana sebesar Rp1 juta habis untuk biaya pakan, maka masih
tersisa Rp2 juta yang dapat ditabung. Dengan demikian, dari peternakan saja,
keluarga RTMPE akan mendapakan penghasilan Rp12 juta setiap bulannya plus
tabungan anak sapi," kata dia.
Ternak Lele
Tambahan pemasukan lainnya kata Zulia ada pada ternak lele. Kolam lele yang
dibangun di kawasan RTMPE adalah seluas 4x6 meter yang dapat di isi dengan
8.000 ekor bibit.
Bibit lele tersebut, lanjutnya, dapat dipanen setiap dua bulan dengan perkiraan
hasil rata-rata Rp3,5 juta per dua bulan atau per bulannya Rp1.750.000.
Mengapa dipilih bibit lele? Menurut Zulia lele merupakan ikan dengan pakan
sederhana. Salah satunya adalah dengan pengelolaan limbah pupuk organik yang ternyata
bisa untuk dijadikan pakannya. Ini menghemat cukup besar biaya mengingat harga
pakan lele buatan pabrik yang mahal.
Tanaman Bawang
Pemasukan keluarga RTMPE lainnya kata Zulia, adalah dari tanaman bawang dan
cabai merah. Lahan yang disediakan dalam kawasan Program RTMPE untuk tanaman
holtikultura ini adalah 400 meter per segi dengan pola tanam tumpang sari.
"Bibit yang dibutuhkan untuk bawang merah lebih kurang 50 kilogram dengan
hasil panen mencapai 500 kilogram. Sebagian hasilnya atau sebanyak 100 kg dapat
dijual dan sebagian dapat dikonsumsi hingga menunggu hasil panen selanjutnya
selama 45 hari," kata dia.
Untuk bawang merah, lanjut kata dia, dapat dipasarkan dengan harga rata-rata
Rp20 ribu per kilogram. Kalikan 400 kg, maka tambahan pemasukan yang didapat
keluarga RTMPE adalah sebesar Rp8 juta selama dua bulan atau Rp4 juta jika
dibagi setiap bulannya.
Yang terpenting menurut Zulia, untuk tanaman jenis holtikultura itu, dapat
menggunakan pupuk organik hasil dari pengelolaan keluarga RTMPE. Dan itu telah
terbukti hasilnya, sangat memuaskan. Bahkan lebih baik dari penggunaan pupuk
kimia yang nyata-nyata dapat merusak kesuburan tanah.
Terlebih, kata dia, biourine yang dihasilkan merupakan biang, dimana satu
liternya dapat dicampurkan dengan 10 liter air untuk tanaman holtikultura dan
untuk tanaman sejenis kelapa sawit satu liter biourine dicampur 5 liter air.
"Itulah perincian biaya pemasukan dari Program RTMPE, yakni antara Rp15
juta hingga Rp25 juta setiap bulannya. Dengan demikian, modal sebesar Rp120
juta tentunya akan cepat kembali dan masyarakat miskin, kedepan akan menjadi
kaya raya," katanya. (Humas/fzr)
BPP Bengkalis Gelar Forum Perangkat Daerah Penyusunan Renja 2025
BENGKALIS – Badan Penelitian dan Penge.
Pejabat BPP Bengkalis Teken Perjanjian Kinerja dan Pakta Intergritas Tahun Anggaran 2024
BENGKALIS - Badan Penelitian dan Pe.
Yayasan Aisyah Berbagi dan Donatur Bakti Sosial Khitanan Massal, Bupati Bengkalis Apresiasi
BENGKALIS- Yayasan Aisyah Berbagi dan para donatur menggelar kh.
Jelang Pemilu 2024, Kapolsek Bantan Lakukan Cooling System di Perkampungan Suku Akit Pulau Terluar Indonesia
BANTAN- Kepolisian sektor (Polsek) Bantan gencar melakukan Cooling sy.
Kasmarni: Kenduri Melayu Ratib Togak, Sebagai Upaya Pemkab Bengkalis Jaga Persatuan, Kelestarian dan Nilai-Nilai Budaya Melayu
PINGGIR - Bupati Bengkalis Kasmarni berharap melalui kegiatan Kenduri.
Perkenalkan Aplikasi e-TJSP, Bappeda Juara I Lomba Inovasi Kategori Perangkat Daerah
BENGKALIS–Melalui Aplikasi e-TJSP, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappe.