Adakah Kontrak Kerja Khusus Bagi Pekerja Difabel ?
Beritaklik.Com
Intisari :
Pada
dasarnya, tidak ada aturan khusus soal kontrak/perjanjian kerja bagi pekerja
difabel yang membedakan dengan pekerja lainnya. Namun, ada aspek-aspek yang
perlu diperhatikan oleh pengusaha dalam membuat perjanjian kerja dengan pekerja
difabel, misalnya pengusaha wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis
dan derajat kecacatannya.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan :
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia ("KBBI") pada laman resmi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, istilah "difabel" tidak
ditemukan. Namun, di sebuah makalah yang kami akses dari laman resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional
("BPHN"), penggunaan kata difabel merupakan pengindonesiaan dari "difabled people" yang merupakan kependekan dari different ability
people atau yang dapat diartikan dengan seseorang dengan kemampuan berbeda.
Kata difabel memiliki hubungan dengan istilah disable. Disable
sendiri bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti kecacatan, dan
penggunaan istilah kecacatan memiliki transisi perubahan yang cukup signifikan
sesuai dengan persepsi dan penerimaan masyarakat secara luas.
Dari artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa difabel memiliki pengertian orang
yang memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya atau bisa juga orang yang
mempunyai suatu keterbatasan yang membuatnya berbeda dari orang lainnya.
Berdasarkan penelusuran kami dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang ketenagakerjaan, pada dasarnya tidak ada perbedaan khusus
tentang perjanjian kerja yang diperuntukkan bagi pekerja pada umumnya dengan
pekerja difabel. Hal ini karena aturan ketenagakerjaan menganut prinsip
perlakuan yang sama (tanpa diskriminasi) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan ("UU Ketenagakerjaan") yang
berbunyi:
"Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan."
Prinsip ini memiliki arti bahwa
setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras,
agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang
bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat
(lihat Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan).
Prinsip ini juga disebut dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat ("UU 4/1997") yang menyatakan bahwa:
"Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama
kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang
jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan".
Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
14 UU 4/1997 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan
dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) sesuai Pasal 28 UU 4/1997.
Akan tetapi, ada hal-hal khusus yang perlu diperhatikan oleh pengusaha dalam
mempekerjakan pekerja difabel menurut UU Ketenagakerjaan, antara lain:
1. Pelatihan
kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan (Pasal 19 UU Ketenagakerjaan)
2.
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga
kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatannya.
Perlindungan ini misalnya penyediaan aksesibilitas,
pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan
derajat kecacatannya. [Pasal 67 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan
penjelasannya]
Menjawab pertanyaan Anda soal kontrak/perjanjian kerja bagi pekerja difabel,
masih bersumber dari laman BPHN, disebutkan bahwa Bab IX dalam UU
Ketenagakerjaan mengenai Hubungan Kerja, tidak terdapat pasal-pasal yang
mengatur secara khusus mengenai perlindungan hak-hak tenaga kerja penyandang
cacat. Secara garis besar pada bab ini hanya menjelaskan mengenai
perjanjian kerja, baik secara pengertian perjanjian kerja ini sendiri juga
mengenai seluk beluk prosedur pengadaan perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Namun, menurut hemat kami soal perjanjian kerja, pengusaha perlu memperhatikan
prinsip perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan yaitu, dibuat secara
tertulis atau lisan.
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis itu sendiri harus
sekurang-kurangnya memuat: [Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan]
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
tanda tangan para pihak dalam
perjanjian kerja.
Oleh karena itu, selain perjanjian kerja memuat hal-hal di atas, pengusaha juga
perlu menuangkan hal-hal khusus yang perlu diperhatikan pada Pasal 19 dan Pasal
67 UU Ketenagakerjaan dalam perjanjian kerja dengan pekerja difabel yang
bersangkutan. Dengan kata lain, pengusaha yang mempekerjakan pekerja difabel
perlu memastikan bahwa ketentuan-ketentuan di atas tertuang baik dalam
perjanjian kerja sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan pekerja difabel.
Sebagai contoh adalah masalah pembagian upah bagi pekerja yang tertuang dalam
perjanjian kerja. Masih bersumber dalam sebuah makalah yang kami akses dari
laman Badan Pembinaan Hukum Nasional ("BPHN"),
dijelaskan bahwa Pemberian upah untuk pekerjaan dan jabatan yang sama tanpa
adanya diskriminasi dapat diartikan bahwa upah yang diberikan kepada pekerja
difabel tidak dibedakan dengan upah tenaga kerja yang lainnya sesuai dengan
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah atau akan dilakukan.
Jadi, dalam makalah tersebut dijelaskan pula bahwa pemberian upah terhadap
tenaga kerja difabel ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan. Upah yang diberikan terhadap
pekerja difabel harus sama dengan upah yang diberikan terhadap pekerja lainnya
yang bukan difabel. Karena terdapat ketentuan yang menegaskan adanya perlakuan
yang tidak diskriminatif mengenai kesamaan pengupahan untuk pekerjaan dan
jabatan yang sama bagi tenaga kerja difabel. Karena dari segi hasil
produktifitas pekerja difabel tidak jauh berbeda dengan produktifitas pekerja
yang lainnya.
Dari segi kontrak kerja, kami mencontohkan kontrak kerja bagi pekerja difabel
tuna netra. Pada dasarnya, kontrak dapat dibuat secara tertulis atau lisan
sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Namun, bagi
perjanjian kerja untuk waktu tertentu perjanjian tersebut wajib dibuat secara tertulis
sebagaimana disebut dalam Pasal 57 UU Ketenagakerjaan:
(1)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis
serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan
sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3)Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa
asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka
yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Tidak hanya itu, perjanjian kerja
juga dibuat atas dasar: [Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan]
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.
pekerjaan yang diperjanjikan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, kontrak atau
perjanjian kerja bagi pekerja difabel tuna netra yang dipekerjakan untuk waktu
tertentu harus dibuat secara tertulis. Selain itu, untuk memenuhi unsur
kesepakatan dalam perjanjian, menurut hemat kami, sebaiknya perjanjian kerja
dibuat juga menggunakan huruf Braille agar pekerja difabel mengetahui pasti apa
yang telah disepakatinya. Hal ini semata-mata bertujuan untuk melindungi
kepentingan pekerja difabel itu sendiri.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
2.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Referensi:
http://www.bphn.go.id/data/documents/lit-2011-2.pdf, diakses pada 31 Maret 2015 pukul 11.50 WIB.
KEMAMPUAN OPTIMALISASI WAKAF DI THAILAND
Wakaf merupakan sebuah konsep filantropi dalam Islam yang melibatkan penyerahan harta benda dari .