Akibat Kekerasan Pemilu Partai Nasional Aceh Kehilangan 40% Suara
BANDA ACEH, Beritaklik.Com - Partai Nasional Aceh (PNA) menilai pemilu di
Provinsi Aceh tidak berkualitas karena diwarnai berbagai kekerasan. Partai
politik lokal itu mengaku kehilangan 40 persen suara dalam pemilu 9 April lalu,
karena banyaknya terjadi pelanggaran.
Ketua Umum PNA, Irwansyah menyatakan, pihaknya menolak hasil pemilu di beberapa
kabupaten dan Tempat Pemungutan Suara (TPS), karena diwarnai berbagai
kecurangan dan kekerasan.
"Korban utama dari kekerasan, pelanggaran dan kecurangan ini adalah Partai
Nasional Aceh. Data Center PNA mencatat lebih 40 persen suara PNA hilang diakibatkan
pelanggaran, dikarenakan intimidasi dan manipulasi suara," katanya dalam siaran
pers diterima, Sabtu (12/4/2014).
Partai bentukan mantan Gubernur Irwandi Yusuf itu memang belum bisa bicara
banyak dalam pemilihan legislatif kali ini. Partai Aceh yang menjadi rivalnya
masih mendominasi perolehan suara sementara berdasarkan rekapitulasi suara di
berbagai kabupaten atau kota.
Irwansyah menuding jebloknya suara partainya akibat pemilu yang dilaksanakan
telah diwarnai pelanggaran dan kecurangan yang sangat terbuka, sistemik
dan telah menodai pelaksanaan demokrasi.
Kondisi ini, menurutnya, terjadi di wilayah Sabang, Aceh Besar, Pidie,
Aceh Utara, Lhokseumawe, Bireuen, Aceh Timur, dan Kota Langsa. Begitu
juga dengan kawasan pantai Barat Selatan seperti Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh
Barat Daya, Nagan Raya. "Saat ini Data Center PNA terus menerima laporan
dari saksi diseluruh TPS di Aceh, dan diperkirakan akan terus bertambah,"
ujarnya.
Irwansyah menambahkan, secara umum modus yang mengakibat hilangnya suara PNA
adalah intimidasi dan teror. "Sejak proses pembentukan partai hingga menjelang
hari pemilihan, PNA senantiasa mendapat teror dan intimidasi dari partai
yang berkuasa. Mulai pembunuhan pengurus dan para kader, penganiayaan,
ancaman hingga perusakan harta benda yang membuat ruang gerak PNA sangat
terbatas," sebutnya.
Bahkan, lanjut Irwansyah, seorang kader partainya di Aceh Utara diculik dan
sampai hari ini belum ditemukan. "Di basis-basis Partai yang berkuasa,
lebih 80 persen saksi dari PNA tidak bisa bekerja secara maksimal. Bahkan
ratusan di antaranya mengundurkan diri karena berbagai ancaman," kata mantan
juru bicara GAM Aceh Besar itu.
Menurutnya intimidasi juga dilakukan kepada masyarakat dan para pemilih agar
memilih partai yang berkuasa, sehingga masyarakat tidak bisa menentukan pilihan
lainnya.
Penyelenggara pemilu dari tingkat provinsi hingga desa, dituding tak netral.
Hal inim lanjut Irwansyah dibuktikan dengan kasus suara yang sudah tercoblos
sebelum hari H di Pidie, serta upaya memanipulasi suara oleh penyelenggara di
Aceh Timur, dan pengarahan oleh petugas di bilik suara yang terjadi di berbagai
tempat, undangan yang tidak dibagi dan pelanggaran lainnya.
"Ironinya, penyelenggara pemilu juga tidak mengantisipasi penghitungan suara di
malam hari. Banyak TPS yang tidak terpasang lampu sehingga harus menghitung
dengan senter. Sangat banyak kecurangan terjadi sewaktu penghitungan suara di
malam hari," tukasnya.
Irwansyah juga menuding pemerintah di Aceh tak netral dan secara
terang-terangan berpihak kepada partai berkuasa, dan membiarkan mobil berbalut
salah satu partai lokal di sekitaran TPS.
"Ini adalah intimidasi kepada pemilih. Semua ini bukan hanya dilaporkan oleh
kader PNA di lapangan, tapi juga ditemukan oleh LSM yang melakukan pemantauan
pemilu," katanya.
"Selain itu ada dugaan partai berkuasa ingin mengklaim kemenangan sampai lebih
50 persen suara, apalagi Setda Aceh berusaha menutup akses informasi
penghitungan suara Biro Pemerintahan kepada publik," lanjutnya. Sumber : Okezone.com (Bki)